Seberapa jauh Profesi Penilai bisa membantu pemerintah daerah mengoptimalkan PBB P2. Pajak yang tergolong baru bagi pemerintah daerah butuh uluran kompetensi penilai.
Sejak pengalihan PBB P2 dan BPHTB, sebelumnya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada Pemerintah Daerah, kontribusi penerimaan pajak di daerah memang meningkat. Seperti tahun 2010-2017, pajak Kabupaten dan Kota naik dari Rp 11,63 triliun menjadi Rp 75,19 triliun. Kontribusi terbesar didominasi BPTHB yang mencapai 26,34%, Pajak penerangan Jalan 21,36%, PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) sebesar 16,28%.
Sedangkan pajak provinsi 2010-2017 naik dari Rp 52,35 triliun menjadi Rp 119,27 triliun. Kenaikan itu dipicu oleh pajak BBNKB sebesar 33%, PKB 31%, Pajak Bahan Bakar BK 18% dan pajak cukai rokok 18% (rata-rata pertumbuhan pajak rokok mencapai 22%). Namun demikian, hal itu tak kunjung membuat keuangan daerah mandiri.
Keuangan daerah masih tergantung pada Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Komposisi dana perimbangan masih mendominasi pendapatan di APBD Kabupaten dan kota. Peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) relatif kecil mendorong kemandirian keuangan daerah guna mendukung pembangunan. Padahal objek pajak banyak didaerahkan, namun mereka belum bisa mengoptimalkan.
Hal itu menjadi perhatian Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo pada Rakernas Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), di Kota Semarang, 3 Juli 2019. Tahun 2013-2017, TKDD sebesar 90,6% atau sebanyak 491 daerah (74 kota) porsi TKDD terhadap pendapatan sebesar 67% sampai 100 % pendapatan daerah. Sebanyak 8,9% atau sebesar 48 daerah (17 Kota), porsi TKDD terhadap pendapatan asli daerah sebesar 34%-66%. Hanya 5% atau 3 daerah (1 Kota Surabaya) porsi TKDD terhadap PAD sebesar 0-33%.
Mardiasmo menjelasan komposisi rata-rata pendapatan APBD 2010-2019, untuk provinsi 38% diperoleh dari dana perimbangan, 49% dari PAD, dan 13% dari Pendapatan lain-lain. Sedangkan untuk Kabupaten sebesar 72% dari dana perimbangan, 10% dari PAD, dan 18% pendapatan lain-lain. Sedangkan kota sebesar 59% dari dana perimbangan, 23% PAD, dan 18% pndapatan lain-lain.
Dari data itu terlihat, bahwa banyak daerah yang belum mandiri secara keuangan. Seperti pendapatan di APBD Kab/Kota sebagaian besar diperoleh dari dana perimbangan, perananan PAD relatif kecil. Namun jika dilihat daerah provinsi memliki porsi PAD lebih besar dibanding Kabupaten dan Kota. Ini disebabkan basis perpajakan nya lebih besar, mulai dari PKB, PBB-KB, BNKB, Pajak Rokok.
Namun demikian, Mardiasmo menilai tax ratio daerah masih lebih rendah dibanding pemerintah pusat. Dalam lima tahun terakhir besar tax ratio daerah sebesar 1,33%, sedangkan pemerintah pusat 11,34% dan pertumbuhannya realtif stagnan.
Menurut Marsiasmo banyak tantangan yang dihadapi daerah untuk menggali potensi perpajakan menuju kemandirian keuangan daerah. Diantaranya daerah menghadapi terbatasnya basis perpajakan, objeknya banyak namun potensinya kecil. “Lemahnya kelembagaan, proses bisnis,, administrasi dan pemuktahiran data perpajakan dalam kolektibilitas Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD),” terang Mardiasmo.
Peran Profesi Penilai
Meski dari sekian objek pajak dimiliki daerah, pendapatan dari PBB P2 masih belum optimal. Padahal PBB P2 menjadi sumber penerimaan yang penting bagi daerah. Banyak daerah dalam menentukan NJOP belum mencerminkan harga transaksi atas objek bumi dan bangunan di daerah. Pemda kesulitan menetapkan NJOP dan masih banyak yang menggunakan NJOP yang belum dimutakhirkan.
Memang, sejak peralihan PBB P2 dari pusat ke daerah, pemerintah daerah tidak memiliki tools melakukan update nilai PBB-nya. Mereka belum begitu memahami bagaimana melakukan penilaian terhadap objek pajak dari bumi dan bangunan yang dikenal Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), sebagai dasar pengenaaan pajak. Mereka kurangi mendasarkan diri pada prinsip penilaian properti yang berlaku umum.
Banyak daerah yang menaikan nilai objek pajak atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), secara serampangan. Ada daerah tertentu menaikan NJOP tanpa melakukan penilaian, naik 40% dari nilai semula. Meskipun itu sesuai dengan UU No 28 Tahun 2009 yang mengamanatkan NJOP sebagai dasar pengenaan PBB P2, yang besarannya ditetapkan oleh Kepala daerah setiap tiga tahun sekali. Namun, hal ini dimaknai seperti kenaikan NJOP tanpa melakukan proses penilaian yang wajar terhadap objek PBB P2.
Untuk memandu daerah Kementerian Keuangan menerbitkan PMK No. 208/PMK.07/2018 tentang Pedoman Penilaian PBB untuk membantu pemerintah daerah menetapkan NJOP. Dengan pedoman itu pemda tidak lagi menetapakan NJOP serampangan, lebih relevan dan reliable. PMK ini menegaskan lebih rinci dan detail teknik dan tatacara penilaian, terutama dalam menentukan Zona Nilai Tanah (ZNT) dan daftar biaya komponen bangunan (DBKB).
Tidak mandirinya keuangan daerah, terang Mardiasmo, mamang daerah menghadapi keterbatasan jumlah dan kompetensi SDM. Baik sebagai penilai PBB, tenaga pemeriksa pajak daerah dan jurusita pajak daerah. “Juga rendahnya pemahaman, kesadaran, kepatuhan masyarakat membayar pajak daerah,” jelasnya.
Terlihat belum meratanya penilai di kalangan pemerintah daerah, selayaknya profesi ini melakukan sosialisasi di kalangan pemerintah daerah. Sebab, jasa penilai ini sangat dibutuhkan untuk menggenjot penerimaan daerah melalui penilaian objek PBB P2. Profesi penilai memiliki peran besar membantu pemerintah daerah meningkatkan pendapatan daerah baik sebagai penilai, konsultan maupun meningkatkan kompetensi penilai PBB P2 daerah. (***)